SHARE

Belakangan ini media populer menyorot besarnya ketidakseimbangan kesejahteraan yang ada di dunia. Sebagai gambaran, kekayaan delapan orang terkaya di dunia adalah lebih besar dari jumlah kekayaan dari separuh populasi manusia. Bagaimana kesenjangan ini bisa terjadi? Apakah yang bisa kita lakukan untuk mengurangi kesenjangan ini?

Hari Senin tanggal 16 Januari 2017 yang lalu, UK Petra menerima kunjungan seorang penerima hadiah Nobel bidang Ekonomi, Prof. Eric Stark Maskin. Kunjungan ini dimungkinkan karena kerja sama antara UK Petra dengan organisasi International Peace Foundation (IPF). Kedatangan Maskin ke Indonesia dalam rangka melaksanakan program “Bridges” yang difasilitasi IPF untuk meningkatkan budaya perdamaian. Maskin diterima oleh Rektor UK Petra dan para Wakil Rektor UK Petra bersama dengan Dekan dan Pimpinan Fakultas Ekonomi UK Petra.

Maskin saat ini adalah seorang pengajar di Adams University yang merupakan bagian dari Universitas Harvard. Profesor New York kelahiran tahun 1950 ini menerima Nobel Memorial Prize di bidang Ekonomi pada tahun 2007. Hadiah ini didapatkannya sebagai pencetus landasan teori mechanism design. Teori ini memperkirakan kondisi dimana pasar akan bisa memberikan hasil yang terbaik untuk semua pihak. Teori ini sampai saat ini menjadi bidang yang signifikan dalam Eknomi makro dan ekonometrika.

Dalam pertemuan yang dilaksanakan di Ruang Rapat Umum Gedung Radius Prawiro, lantai 9 UK Petra ini, Maskin menyampaikan pemikirannya yang bertajuk: “Why global markets have failed to reduce inequality?”. Sebagai garis bawah pemikirannya, Maskin menekankan bahwa perdamaian dapat dicapai dengan mengurangi inequality (kesenjangan/ketidakseimbangan). Menurutnya, globalisasi adalah layaknya suatu mesin kuat yang mendukung pertumbuhan di negara-negara berkembang. Akan tetapi di sisi lain, globalisasi juga menyebabkan meningkatnya inequality finansial. Prof. Maskin mencontohkan negara China yang bertumbuh sangat cepat dalam era globalisasi adalah juga negara dengan inequality yang sangat tinggi. Ia mengangkat pemikiran koleganya, Michael Kremer, yang menemukan hubungan antara meningkatnya inequality dengan meningkatnya perdagangan di negara berkembang. Ia mengatakan bahwa selama 20 tahun ini globalisasi berbanding lurus dengan meningkatnya inequality adalah dikarenakan pertumbuhan negara berkembang hanya didukung oleh meningkatnya  perdagangan saja.

Ia mengajukan suatu pemikiran alternatif. Globalisasi tidak hanya meningkatkan perdagangan, akan tetapi juga produksi barang-barang yang diperdagangkan itu. Meningkatnya produksi ini adalah juga peluang yang seharusnya bisa dimanfaatkan negara-negara berkembang. Sebagai contohnya “Apple” memakai pekerja dari negara berkembang. Tenaga kerja yang memiliki skill akan bisa mendapatkan keuntungan di kancah globalisasi, sedangkan yang tidak akan ditinggalkan. Dengan demikian akan mengurangi kesenjangan pendidikan dan meningkatkan skill tenaga kerja, inequality akan dapat dikurangi. Kunci pemerataan kesejahteraan adalah pada peningkatan di Human Development Index (HDI) pada negara-negara berkembang. Pemegang bola yang bisa menentukan kebijakan untuk hal ini kembali pada pemerintah negara masing-masing. Akan tetapi ada hal yang bisa dilakukan institusi pendidikan untuk mendukung pengembangan HDI ini yaitu dengan senantiasa memberikan pendidikan berkualitas. Maskin menutup diskusi ini dengan memberi pesan kepada UK Petra, “The most effective remedy for inequality is education. It will give the low-skill workers the capacity to seize the opportunity from globalization. Petra Christian University as one of the leading higher education institutions has a significant role in this matter.”(noel)

Facebook Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here