SHARE

Bagaimanakah masa depan kerukunan umat beragama dan persatuan Indonesia? Pertanyaan ini sangat wajar di tengah fakta pluralitas agama (plus kepentingan politik) yang dapat memicu ketegangan horizontal, sebagaimana kita saksikan dalam momentum politik DKI Jakarta baru-baru ini. Perilaku intoleran dan sektarian sebagian orang semakin menambah runyam kondisi kerukunan umat beragama di Indonesia.

Di tengah situasi yang cukup memanas, tidak sedikit warga yang apatis, dan bahkan oportunis serta memanfaatkannya demi kepentingan pribadi dan golongan. Sebagian lagi justru memanfaatkannya untuk mengusung ide yang anti pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tidak demikian dengan generasi muda dari Universitas Kristen Petra Surabaya (U.K. Petra), Universitas Yudharta Pasuruan dan Universitas Hasyim Asy’ari Jombang. Para mahasiswa/i dari  ketiga universitas ini justru menjadikan tensi politik yang memanas dan isu SARA akhir-akhir ini sebagai momentum untuk menjalin persahabatan, menegaskan toleransi, demi mengukuhkan NKRI. Bhineka Tunggal Ika harus diterjemahkan dalam realitas hubungan sosial yang tak mengenal batas-batas suku, agama dan ras. Dengan didampingi beberapa dosen, mahasiswa dari tiga universitas yang bernafaskan agama ini (Kristen dan Islam) mengadakan dialog lintas agama terkait isu-isu agama dan kebangsaan.

Dialog dimulai pada Sabtu pagi yang cerah pada pukul 10.00 di kampus U.K. Petra. Acara ini sendiri (22/04) adalah kelanjutan dari dialog sebelumnya di kampus Yudharta, Pasuruan pada Oktober tahun lalu. Sebelum mahasiswa masuk dalam dialog kelompok, perwakilan dosen menyampaikan pemikiran tentang toleransi agama dan persatuan Indonesia. Dari U.K. Petra, Bedjo Lie, M.Div., Th.M. selaku kepala Pusat Kerohanian U.K. Petra menyampaikan pemikiran Kristen tentang toleransi, identitas di tengah pluralitas. “Toleransi kepada pemeluk agama lain tidak berarti melemahkan identitas iman pribadi demi menyatakan semua agama benar (teologi pluralisme agama) atau mencampurkan adukkan agama (sinkretisme). Muslim tetap memegang teguh akidahnya dan Kristen meyakini doktrinnya, tetapi keduanya dapat berdialog, saling menghormati dan hidup bersama sebagai sesama ciptaan Tuhan di bumi pertiwi. Dalam konteks kebangsaan, toleransi mutlak diperlukan sebagai syarat persatuan Indonesia dan kokohnya NKRI. Jadi, teologi dan keyakinan boleh eksklusif tetapi relasi sosial orang Kristen harus inklusif dan pluralis. Lebih jauh, orang Kristen harus melampaui toleransi dengan mengasihi sesama bahkan musuh yang menganiaya mereka, karena itulah ajaran Tuhan Yesus”, urai Bedjo Lie. Setelah itu disusul Amang Fathurrohman, S.PdI., M.PdI dan Ahmad Marzuki, S.PdI., M.Ag dari Univ. Yudharta serta M. Mukhid Mashuri, S. Th.I., M.Th.I sebagai perwakilan dosen Universitas Hasyim Asya’ri menyampaikan pokok-pokok pikiran mereka tentang toleransi dan kebangsaan. Para mahasiswa pun dengan antusias mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang kritis.

Tak kenal maka tak sayang, para pesertapun saling berkenalan dan berdialog tentang keyakinan atau agama masing-masing dalam kelompok kecil yang terdiri dari 6-8 orang. Setiap orang diberikan kesempatan untuk bertanya dan memberikan pendapat menurut keyakinannya. Harapannya, setiap kelompok dapat belajar pandangan dari keyakinan yang berbeda dan membuang stereotipe yang salah tentang agama lain. Suasana yang kondusif menjadi dialog ini momen persaudaraan antar sesama anak bangsa. Di tengah perbedaan etnis, agama yang seringkali menjadi sumber ketegangan, dialog ini justru berlangsung cair dalam suasana kekeluargaan sebagai sesama ciptaan Tuhan dan penganut monoteisme.

Kebersamaan yang dimulai pukul 10.00 WIB ini akhirnya berakhir pada pukul 16.00 WIB dengan doa dan foto bersama. Alih-alih menimbulkan ketegangan dan pertikaian, dialog ini justru membangun empati dan persatuan di tengah perbedaan yang ada. Harapannya, di masa depan akan ada lebih banyak dialog serupa dan kerjasama konkrit demi pembangunan bangsa dan masyarakat.

Di akhir acara, para dosen dan mahasiswa dari ketiga universitas bersama-sama meneriakkan “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.” “Inilah komitmen anak bangsa untuk menjaga persatuan Indonesia, menegakkan NKRI dan memberikan harapan bagi Indonesia yang toleran dan bersatu.” ungkap Samuel Soegiarto, M.Th. selaku perwakilan dosen U.K. Petra. (aj/dit)

Facebook Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here