SHARE

Surabaya ternyata kaya warisan budaya arsitektur, beberapa diantaranya adalah bangunan kolonial Belanda. Sebagai warisan kebudayaan, bangunan kolonial Belanda ini memiliki nilai tersendiri yang bisa dilihat dari bangunannya. Nilai-nilai ini terlihat dalam sejarah yang berkaitan dengan orang-orang atau peristiwa bersejarah di gedung-gedung tersebut, nilai estetika yang didapatkan dari kualitas visual dan pengalaman inderawi di dalam gedung tersebut serta nilai sosial. Dalam Perda Kota Surabaya no. 5 tahun 2005 dikatakan bahwa setiap warga Surabaya diminta berperan serta dalam pelestarian bangunan cagar budaya. Program Studi Arsitektur UK Petra ini menunjukkan keikutsertaan melestarikan bangunan cagar budaya dengan mengadakan workshop “International Architecture and Urbanism Workshop 2017” pada tanggal 11-14 Oktober 2017 di ruang Rapat Arsitektur lantai 6 gedung P kampus UK Petra, Surabaya.

Workshop bertajuk “Learning From Colonial Architecture In Surabaya: H.L.J.M. Estourgie Architect Projects” ini merupakan bagian dari hibah penelitian yang diperoleh dari Kedutaan Besar Belanda oleh dosen Program Studi Arsitektur UK Petra yaitu Timoticin Kwanda, B.Sc., MRP., Ph.D. “Hibah ini merupakan hibah penelitian yang saya buat sejak tahun 2016 yang lalu, yang mana arsitek Estourgie dan karya-karyanya belum begitu dikenal oleh para akademis arsitektur dan masyarakat umum di Indonesia. Selain itu dengan adanya acara ini kita dapat mengidentifikasi dan mendokumentasi ciri khas bangunan-bangunan warisan budaya melalui kunjungan yang bisa mengungkapkan keunikan bangunan-bangunan bersejarah khususnya bangunan yang didesain oleh arsitek Belanda, Henry Louis Joseph Marie Estourgie”, urai Timoticin. Pada zamannya, Estourgie merupakan salah satu arsitek terkemuka Belanda yang berkarya di Nusantara. Hal ini nampak dari kepercayaan kesultanan Kutai Kartanegara yang meminta untuk merancang bangunan istana kesultanan. Saat ini nama Estourgie kalah bersinar dibandingkan arsitek-arsitek kolonial Belanda lain seperti Thomas Karsten, Henri Maclaine Pont, Eduard Cuypers, M.J. Hulswit, C. Citroen, dan C. P. W. Schoemaker yang karyanya banyak mewarnai kota Bandung sampai hari ini. Spesifik untuk Surabaya, karya-karya Estourgie dinilai perlu dikaji karena banyak karyanya berada di Surabaya tetapi belum banyak yang dipelajari. Timoticin bersama dengan Pauline K. M. van Roosmalen, membahas dan mempresentasikan bangunan di wilayah Surabaya yang disinyalir sebagai karya Estourgie di hadapan 24 mahasiswa Program Studi Arsitektur yang menjadi peserta proyek.

Salah satu ciri khas desain Estourgie menurut Timoticin Kwanda, B.Sc., MRP., Ph.D selaku Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan UK P adalah desainnya banyak memakai atap khas tropis yang tinggi-tinggi, ventilasi udara yang khas dan bentuk menara yang ada di setiap bangunannya. Sehingga bisa dipastikan karya-karya Estourgie ini berusia diatas 50 tahun yang mana masuk dalam kategori bangunan cagar budaya. Dalam memvalidasi kebenaran bangunan yang diduga karya Estourgie, para mahasiswa mengalami beberapa kendala, seperti sukarnya akses masuk bangunan yang difungsikan sebagai tempat tinggal, data alamat sudah berubah atau tidak akurat, dan pengembangan di sekeliling lokasi yang menghalangi pandangan. Tercatat ada dua bangunan karya Estourgie salah satunya bangunan kompleks sekolah Santa Maria di Jalan Raya Darmo. Seorang dosen yang membimbing survei ini, Aris Budhiyanto, S.T., M.Sc., mengatakan bahwa ada nilai luhur bisa ditarik dari mempelajari desain Estourgie. “Estourgie menyerap kebudayaan dan teknik membangun asli Indonesia dalam mendesain bangunannya”. Ia mencontohkan pemakaian genteng dan bentuk atap yang lancip yang adalah khas arsitektur Indonesia. Sedangkan Vincentius Lieyanto, salah seorang mahasiswa peserta workshop ini mengungkapkan banyak wawasan baru yang ia dapatkan, “saya menjadi lebih sadar bahwa bangunan-bangunan peninggalan jaman Belanda ini merupakan aset yang cukup berharga buat Kota Surabaya. Sebaiknya tidak hanya bangunan yang besar-besar, namun juga yang kecil-kecil seperti rumah atau apartemen juga seharusnya masuk dalam cagar budaya Kota Surabaya”. (noel/Aj)

Facebook Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here