SHARE

Indonesia merupakan negara yang penuh dengan keanekaragaman, baik dari suku, agama, bahasa maupun kuliner dan cita rasa. Akan tetapi, dibalik keragaman tersebut terkadang terdapat warga negara yang mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari yang lain. Salah satu etnis yang merasakan ‘sisi gelap’ dari perlakuan ini adalah  masyarakat keturunan Tionghoa. Hal tersebut terbukti dari banyaknya peristiwa yang menyudutkan etnis Tionghoa di Indonesia seperti peristiwa Mei ’98 dan lain sebagainya. Menanggapi isu ini, maka pada 6 April 2018 Universitas Kristen (UK) Petra mengadakan bedah buku “Ada Aku Diantara Tionghoa dan Indonesia”.

Buku Ada Aku Diantara Tionghoa merupakan buku yang ditulis oleh 73 penulis dengan latar belakang yang berbeda-beda suku, ras agama maupun pekerjaan. Tulisan-tulisan tersebut berisi tentang kisah penulis yang berhubungan dengan etnis Tionghoa, baik tetangga, teman, atau kerabat. Acara bedah buku ini dipandu oleh Pietra Widiadi yang merupakan salah satu penulis dalam buku ini, serta Elisa Christiana, Kepala Program Studi Sastra Tionghoa UK Petra. “Buku ini unik dan menarik untuk dibaca, karena buku ini bukan murni tulisan ilmiah, akan tetapi berisi tentang narasi memori atau pengalaman-pengalaman pribadi penulis yang berhubungan dengan etnis Tionghoa di lingkungannya,” ungkap Pietra Widiadi.

Buku yang digagas oleh Aan Ashori dengan usulan-usulan dari jaringan Gusdurian ini terbit pada tanggal 21 Maret 2018 bertepatan dengan hari Anti Diskriminasi Nasional. Menjadikan tulisan-tulisan tersebut menjadi buku yang menarik dan enak dibaca merupakan sebuah tantangan. “Karena penulis buku ini berasal dari berbagai latar belakang, maka tidak semuanya dapat menulis dengan baik. Hal ini merupakan tantangan untuk membantu para penulis mengungkapkan cerita  mereka ke dalam buku ini,” ungkapnya.

Selain itu, dalam bedah buku ini Elisa Christiana juga turut menceritakan pengalamannya sebagai warga keturunan Tionghoa. “Sewaktu kecil, saya pernah pernah merasa takut ketika berjalan sendiri ke rumah sepulang sekolah karena dipanggil-panggil oleh orang-orang yang berada di tepi jalan,” ungkap Elisa. “Akan tetapi, pengalaman saya tidak melulu seperti itu, saat saya kuliah di Universitas Negeri Surabaya, saya satu-satunya orang keturunan Tionghoa. Awalnya saya sempat kuatir karena menjadi satu-satunya keturunan Tioanghoa. Akan tetapi, ternyata teman-teman kuliah memperlakukan saya dengan hormat seperti tidak ada perbedaan ras diantara kami,” ungkapnya.

Hal tersebut juga sesuai dengan isi Buku Aku Diantara Tionghoa dan Indonesia yang tidak hanya menceritakan kisah sedih dari masyarakat Indonesia Tionghoa, namun juga kebahagiaan dan pengalaman-pengalaman lainnya. Buku ini berisi pesan dari masyarakat Indonesia kepada masyarakat Indonesia sendiri mengenai prinsip yang terkadang sering terlupakan di negara ini, yakni Bhinneka Tunggal Ika. (vka/dit)

Facebook Comments