SHARE

Kegiatan profesional komunikasi erat hubungannya dengan perkembangan media informasi. Dalam era media sosial dan jurnalisme warga ini, arus informasi menjadi sangat cepat dan masif. Keadaan ini memunculkan problematika dimana media sosial memungkinkan siapa pun menyebarkan informasi yang berdampak luas tetapi keakuratan dan kebenarannya belum bisa dipertanggungjawabkan. Di dalam iklim ini hoaks dan berita palsu kerap muncul sebagai tantangan bagi profesional komunikasi. Dalam rangka mempersiapkan mahasiswa yang kelak menjadi pemain di dunia komunikasi, Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Kristen (UK) Petra menyelenggarakan seminar PR’s Challenge: Handling Hoax and Fake News on Social Media di Gedung P ruang P.707 UK Petra pada tanggal 27 April 2018 yang lalu. Seminar ini dihadiri 100 mahasiswa UK Petra peminatan Public Relations dan menghadirkan dua orang narasumber, yaitu Eko Setiawan, M.Si, Kepala Seksi Sumber Daya Komunikasi Publik Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Rico Raspati Head of Communication Pertamina Surabaya.

Sesi pertama diisi oleh Rico yang memaparkan mengenai praktek kehumasan di Pertamina. Menurut Rico, saat ini media yang tersedia sangat banyak dalam bentuk online sehingga lambat laun media surat kabar cetak niscaya tergantikan. Menggambarkan potensi dan tantangan media-media baru ini, Riko mengatakan “dari sekian banyak varian media online, ada satu yang paling simpel tapi juga paling berbahaya, yaitu media sosial”. Demikian besarnya potensi baik dan berbahaya media sosial, Pertamina membentuk satu divisi khusus dengan jumlah petugas yang cukup banyak untuk menangani media sosial. Pertamina adalah perusahaan yang cukup sering terkena dampak berita palsu atau hoaks. Contoh yang cukup aktual adalah hoaks tentang harga BBM di Papua yang 10 kali lebih mahal dibandingkan dengan di Jawa. Dalam hoaks ini, motivasi yang terlihat adalah keinginan memberitakan pelaksanaan kebijakan harga BBM pemerintah dalam bingkai yang buruk.

Eko memberikan perspektif yang berbeda, yaitu dari sudut pandang Depkominfo yang merupakan regulator dan pelayan masyarakat terkait dengan komunikasi. Eko memaparkan perbedaan antara hoaks dan fake news. Menurutnya, hoaks adalah segala bentuk informasi yang tidak mempunyai rujukan yang benar, sedangkan fake news adalah berita yang tidak dapat dikonfirmasi kebenarannya. Eko mengatakan, “Kita harus skeptis menanggapi berita”. Menurutnya salah satu faktor penyebab mudahnya hoaks merajalela di Indonesia adalah karena minimnya literasi digital, yaitu etika dan budaya berkomunikasi di internet. Menurut Eko, perlu adanya gerakan untuk melawan hoaks yang bisa dilakukan dalam bentuk membangun budaya malu ketika membagikan hoaks.

Dalam sesi interaktif, kedua narasumber menanggapi pertanyaan mahasiswa mengenai metode untuk menanggulangi hoaks yang ada kalanya sangat viral sehingga lebih viral dibandingkan berita klarifikasi yang menyanggahnya. Rico menjawab dengan menyatakan akan melakukan upaya semaksimal mungkin upaya yang diperlukan dan di media mana pun hoax itu berkembang, “At whatever cost, on every media. Kita akan eksekusi lebih besar dari hoax itu”. Eko menjawab dengan tekad yang serupa dan memaparkan bahwa pimpinan di bidang yang terkena hoax tersebut bisa turun tangan dan memberikan konferensi pers resmi. (noel/Aj)

Facebook Comments