SHARE

“Aku ingin begini, aku ingin begitu
Ingin ini, ingin itu, banyak sekali…”

Pernah mendengar lagu dengan lirik di atas? Bagi generasi 90-an sepertiku, lirik tersebut bukanlah lirik yang asing. Itu adalah lirik lagu dari film kartun kesukaanku, Doraemon, yang dulu selalu hadir di layar televisi setiap hari Minggu.

Sejak kecil, aku sangat senang dengan cerita-cerita di film Doraemon. Tak jarang, aku pun jadi berandai-andai: seandainya saja aku punya teman seperti Doraemon yang bisa mengabulkan semua permintaanku, sepertinya hidupku akan bahagia.

Tapi, dari cerita-cerita Doraemon, aku mendapati bahwa sekalipun banyak keinginan Nobita yang dikabulkan oleh Doraemon, seringkali pada akhir cerita justru keinginan tersebut malah menjadi bencana untuk Nobita. Dalam salah satu episodenya, Nobita pernah meminta Doraemon untuk memajukan waktu hingga ke masa depan untuk menghindari masalah. Tapi, karena Nobita terlalu asyik menghindari masalah dan ingin lebih cepat mengetahui apa yang menjadi masa depannya, tanpa sadar Nobita segera menjadi tua dan tak lagi punya kesempatan untuk kembali ke masa sekarang. Pada akhirnya, aku jadi berpikir: andai saja Doraemon tidak memberikan semua yang Nobita mau, mungkin Nobita tidak akan jadi begitu.

Melihat karakter Nobita yang suka merengek supaya permintaanya dikabulkan Doraemon, aku mendapati bahwa diriku pun terkadang menjadi seperti Nobita. Aku meminta kepada Tuhan dengan penuh percaya diri bahwa akulah yang paling tahu tentang diriku sendiri. Tapi, saat itu aku lupa bahwa sesungguhnya Tuhanlah yang lebih tahu tentang aku karena Dia adalah penciptaku. Tuhan tahu betul setiap detail kehidupanku, bahkan Alkitab pun berkata bahwa setiap helai rambutku pun terhitung jumlanya oleh Tuhan (Matius 10:30).

Suatu ketika, aku pernah meminta pada Tuhan supaya ayahku disembuhkan dari sakitnya.
Dalam kondisi terserang penyakit stroke yang menyerang rongga mulut, ayahku tidak mampu lagi menelan makanan yang masuk ke mulutnya. Keadaannya terus menurun hingga dia pun mengalami koma.

Saat itu, di masa kritisnya, aku memohon pada Tuhan supaya memperpanjang umur ayahku satu bulan saja. “Tuhan, Engkau punya banyak orang yang mengasihi-Mu di surga. Tetapi aku tidak punya banyak. Tolong jangan ambil ayahku,” mohonku pada Tuhan. Namun, belakangan aku sadar bahwa doa itu adalah doa yang egois. Dalam kondisi tak mampu menelan makan, ayahku harus dipasangi selang supaya perutnya dapat menerima makanan. Tentu ini sungguh menyakitkan buatnya.

Tuhan berkehendak lain. Dia memberi kesembuhan secara total kepada ayahku dengan cara memanggilnya ke pangkuan-Nya. Kecewa? Ya, tentu aku kecewa saat itu. Aku masih merasa bahwa seharusnya ini tidak terjadi kepadaku. Kehilangan sosok yang begitu kukasihi rasanya begitu pedih. Namun, di tengah kesedihan itu aku diingatkan akan surat Paulus kepada jemaat di Roma, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi orang-orang yang mengasihi Dia (Roma 8:28).

Ayat ini menyentakku. Tuhan tahu yang terbaik untuk Ayah dan juga untukku. Ketika Dia memilih untuk memanggil pulang Ayah, kupikir itu adalah cara-Nya untuk memberi kesembuhan dan melepaskan Ayah dari penderitaan karena sakitnya. Pada akhirnya, melalui peristiwa ini aku belajar untuk menerima dengan iman bahwa Allah adalah Allah yang Mahatahu dan rancangan-Nya adalah yang terbaik.

Ada begitu banyak hal dalam hidup ini yang sulit untuk dimengerti, termasuk ketika Tuhan menjawab doa permohonan kesembuhan ayahku dengan memanggilnya pulang. Namun, satu hal yang aku tahu dengan pasti yaitu Allah adalah kasih. Allah baik bukan karena dia memberikan kesembuhan atau kesuksesan, tetapi karena Dia adalah baik. Allah mengasihi bukan hanya ketika Dia memberikan berkat, tetapi karena Dia adalah kasih. Oleh karena itu, aku belajar menerima bahwa segala hal dalam kehidupanku terjadi seturut hikmat dan kasih-Nya untukku.

Aku bersyukur bahwa Allah itu tidak seperti Doraemon. Dia tidak semena-mena memberikan apa saja yang diminta oleh manusia. Memang pada kenyataannya, sebagai manusia aku tidak suka ketika Tuhan menjawab “tidak” atas apa yang aku mau. Jawaban yang diinginkan pasti “ya”, atau setidaknya “tunggu”. Namun, ada satu ayat yang aku ingat ketika aku meminta sesuatu kepada Tuhan. Yesaya 55:8 mengatakan:

“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN.”

Kita tidak bisa memaksakan keinginan kita kepada Tuhan, karena kita seperti domba yang pandangan matanya terbatas. Kita tidak tahu betul apa yang paling baik buat kita. Mungkin kita menganggap apa yang kita minta sekarang inilah yang terbaik dan jika kita mendapatkannya, kita pasti bahagia. Tetapi, ada seorang Gembala Agung, yang bisa melihat lebih jauh dan lebih luas dari apa yang kita bisa lihat. Dialah Gembala yang Mahatahu dan yang telah merancang masa depan kita dengan rancangan damai sejahtera.

Sebagai manusia yang terbatas, kita tentu perlu seorang sandaran yang lebih besar dan berkuasa dari kita. Satu-satunya pribadi yang bisa memuaskan keinginan itu adalah Tuhan Yesus. Dialah Bapa yang sempurna. Dia tahu yang terbaik untuk setiap kita, dan ketika kita menyerahkan kehidupan kita ke dalam tangan-Nya dan membiarkan Dia bekerja sesuai kehendak-Nya, kita akan memperoleh sukacita kekal.

Sumber:

Saat Tuhan Tidak Mengabulkan Doaku

Facebook Comments