SHARE

Apa yang akan kamu lakukan ketika ada seseorang yang meminta kepadamu? Sederhananya, ada dua jawaban yang mungkin aku atau kamu akan berikan, yaitu memberi atau menolak.

Namun, ada sebuah peristiwa di mana aku merasa bimbang dan dilema. Di satu sisi aku ingin memberi tapi aku enggan. Di sisi lainnya, aku ingin menolak tetapi tidak sampai hati.

Cerita ini bermula saat aku sedang makan bersama seorang teman di warung kaki lima. Waktu itu ada seorang bapak berjalan mendekat ke arah kami. Jalannya pincang, di punggungnya terkait sebuah tas besar, tangannya memegang beberapa pasang sandal, dan senyum tipis tersungging di wajahnya. Dia berusaha membujuk kami untuk membeli salah satu dari sandal yang dia jajakan. Awalnya aku berusaha acuh tak acuh terhadap bapak itu, tetapi dia bergeming dan menatapku dengan tatapan lunglai.

Akhirnya, aku bertanya. “Berapa harga sandalnya, pak?”

“60 ribu, mas,” sahutnya.

Saat itu aku hanya membawa sedikit uang di dompet, dan tepat di hari itu juga aku kehilangan sejumlah uang. Ingin rasanya aku menolak bapak itu supaya dia segera beranjak. Tapi, setelah kuamati sekali lagi bapak itu, aroma balsem tercium menyengat dari tubuhnya, matanya begitu sayu, wajahnya penuh keringat, dan nafasnya pun tersengal-sengal. Aku pikir sepertinya bapak itu memang sedang kelelahan, sakit, dan tentunya membutuhkan uang.

Hati kecilku terketuk, lalu kupegang tangan bapak itu dan berkata, “Pak, saya tidak punya cukup uang buat beli sandal bapak, dan saya juga saat ini belum membutuhkan sandal. Tapi, saya mau memberi buat bapak seadanya.”

Respons yang kudapat mengejutkanku. Bapak itu tersungkur di depanku dan menangis. Setelah kuajak bicara lebih lanjut, ternyata perjuangan bapak itu sungguh luar biasa. Aroma balsem yang menyeruak dari tubuhnya itu berasal dari kakinya yang membengkak karena kecelakaan. Aku mengajaknya untuk duduk makan bersamaku, namun dia menolak dengan halus. Katanya dia mau menggunakan uang yang diterimanya untuk pulang saja ke rumah. Kemudian bapak itu undur diri dan berjalan meninggalkan kami.

Saat aku melanjutkan makanku, pikiranku terus bertanya-tanya dan membayangkan tentang bapak itu.

Sudah sejauh mana dia berjalan? Bagaimana dengan kakinya yang bengkak itu? Bagaimana perasaannya apabila hari itu tak ada satupun yang membeli jualannya?

Walaupun aku telah memutuskan untuk memberi, tetapi aku merasa malu pada diriku sendiri. Sebagai seorang Kristen, aku sudah sering mendengar ayat-ayat yang berbicara tentang memberi. Namun, ketika dihadapkan pada pilihan di mana sudah seharusnya aku memberi, aku malah bingung dan bertanya-tanya. Apakah aku harus memberi kepada bapak ini? Atau, sampai sejauh mana aku harus memberi? Apakah aku memberi jika aku sedang berkelimpahan? Atau, apakah aku memberi jika kalau aku merasa ingin saja?

Alkitab tidak mengatakan pada kita bahwa kita harus memberi kalau kita diberi kembali, atau kita harus memberi kalau kita sedang punya. Dalam Kisah Para Rasul 20:35, Alkitab dengan jelas mengatakan pada kita bahwa adalah lebih baik memberi daripada menerima, titik. Tanpa ada persyaratan lainnya.

Malam itu aku menyadari bahwa aku masih terlalu egois. Yang ada dalam pikiranku hanyalah tentang diriku sendiri. Ketika bapak itu datang menghampiriku, aku mengesampingkan dahulu rasa kepedulianku dan lebih memikirkan tentang kemalangan yang sudah terlebih dahulu menimpaku. Aku lupa bahwa sesulit-sulitnya hidupku, ada orang lain yang hidupnya jauh lebih sulit. Aku pun lupa bahwa ketika aku menolong orang yang lemah dan hina, sesungguhnya aku sedang melakukan itu untuk Tuhan (Matius 25:40).

Aku berdoa memohon ampun kepada Tuhan dan juga mengucap syukur atas kehadiran bapak tadi yang boleh menegur dan mengajarku untuk menjadi seorang yang ikhlas memberi. Mungkin pemberianku yang kecil itu tidak akan mengubah kehidupan bapak itu seketika, tetapi minimal dia bisa kembali ke rumahnya, beristirahat, dan bertemu dengan keluarganya.

Aku yakin bahwa tak hanya bapak itu, tetapi ada banyak orang lain di lingkungan kita yang juga membutuhkan pertolongan. Entah itu seorang janda di gereja kita yang tak punya uang untuk berobat, teman sekelas kita yang tak mampu untuk membayar uang sekolah, atau bahkan para pedagang kecil yang sering menghampiri kita saat kita sedang makan. Pada intinya, realita yang tersaji di hadapan kita adalah ada banyak orang-orang yang sebetulnya membutuhkan bantuan dari kita. Hanya, apakah kita peka dan mau menaruh perhatian terhadap mereka?

Sebagai orang Kristen yang adalah pengikut Kristus, sudah seharusnya kita mengikuti teladan-Nya dan juga peka terhadap lingkungan sekitar kita. Ketika Kristus telah memberikan segala-galanya untuk kita yang seharusnya tak layak diberi (Roma 3:23-24), akankah kita memberikan sedikit yang ada daripada kita untuk sesama manusia yang membutuhkan?

Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita” (2 Korintus 9:7).

Sumber:

Sebuah Pelajaran dari Bapak Penjual Sandal

Facebook Comments