SHARE

Pemeran utama dalam pendidikan generasi baru adalah para orangtua. Memberdayakan orangtua agar bisa menjadi pendidik yang baik adalah penting. Diperlukan upaya untuk memberikan pada orangtua wawasan pendidikan yang relevan atas tantangan yang dihadapi generasi baru. Dalam rangka memperlengkapi dosen dan karyawan dengan wawasan pendidikan yang baik, Pusat Konseling dan Pengembangan Pribadi (PKPP) Universitas Kristen (UK) Petra menyelenggarakan Sarasehan Topik Aktual “Parenting in the Era of Disruption” pada tanggal 27 Juli 2018 di Ruang Konferensi 3 Gedung Radius Prawiro Lantai 10. Prof. Dr.(HC). Ir. Rolly Intan, M.A.Sc., Dr. Eng., sebagai narasumber tunggal seminar ini menyampaikan materi bertajuk Pendidikan Abad 21 dalam Era Digital Native.

Sarasehan dimulai dengan pembahasan tentang perkembangan fisik otak anak. Rolly mengumpamakan otak sebagai hardware (perangkat keras) suatu komputer yang menentukan kerumitan program yang bisa dijalankan suatu komputer. Untuk membantu anak dalam pertumbuhan fisik otak, dipaparkan wawasan mengenai tahap-tahap perkembangan otak yaitu: tahap I, 0-10 bulan janin; tahap II, kelahiran s/d usia 6 tahun; dan tahap III, usia 7 tahun s/d 12 tahun. Saran yang penting yang bisa diterapkan adalah di tahap I, Ibu hamil sebaiknya menjauhi rokok, alkohol, obat-obatan, dan logam berat; berusaha relaks; dan merangsang pembentukan otak janin dengan berbagai sensasi sentuh dan suara. Pada tahap II, adalah penting untuk memberikan pengalaman sehari-hari yang membentuk kenyamanan emosional. Pada tahap III adalah penting bagi orangtua untuk memahami perbedaan antara otak anak perempuan dan laki-laki sehingga bisa memberikan interaksi dan pendidikan yang sesuai. Otak wanita lebih berkembang ke arah komunikasi, sedangkan otak laki-laki ke arah persepsi dan pengambilan keputusan.

Bahasan selanjutnya membuka wawasan terkait dengan perkembangan jaman, tentang balita dan komputer/gawai. Sekitar 31% anak berusia 3 tahun ke bawah sudah mulai kecanduan komputer/gawai. Hal ini mengkhawatirkan karena ditemukan bahwa penggunaan layar sentuh pada anak di bawah usia tiga tahun dapat merusak peluang tumbuh kembang anak dari keterampilan yang dibutuhkan untuk matematika dan ilmu pengetahuan. Bayi dan balita belajar lebih baik dengan materi yang bisa mereka sentuh, raba, dan genggam, dibandingkan apa yang mereka lihat di sebuah layar. Pemakaian gawai mengurangi kesempatan anak dalam interaksi tatap muka yang membangun keterampilan sosial dan membuat mereka tidak peka atas emosi orang lain. Menurut Rolly, “Yang perlu disiapkan (di masa balita) adalah Emotional Quotient (EQ). Melatih EQ tidak bisa memakai gadget”.

Bahasan terakhir dalam sarasehan ini adalah tentang pendidikan di abad 21. Era saat ini dikenal dengan era Industry 4.0. Dalam era ini, kehidupan manusia banyak dibantu oleh mesin, bahkan ada kecenderungan tenaga manusia digantikan oleh mesin. Perkembangan ini menyebabkan pesatnya perubahan di dunia pekerjaan. Sebagai ilustrasi, diperkirakan bahwa 85% pekerjaan di tahun 2030 kelak adalah pekerjaan baru yang tidak ada di tahun 2017. Pesatnya perubahan ini menuntut pekerja untuk bisa selalu belajar dan memakai teknologi baru. Permasalahan di dunia pendidikan saat ini adalah hasil utama dari pendidikan yang diberikan adalah pengetahuan (knowledge). Mengenai apa yang perlu disiapkan perguruan tinggi terkait problematika ini Rolly mengatakan, “Universitas sebaiknya memberikan meta-knowledge, yaitu knowledge behind knowledge”. Kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan baru menjadi lebih berharga daripada pengetahuan itu sendiri. (noel/padi)

 

Facebook Comments