SHARE

Memahami gejala dalam perekonomian dan membuat prediksi adalah hal yang penting dalam dunia usaha. Program studi International Business Accounting (IBAcc) Universitas Kristen Petra (UK Petra) mengadakan acara Accounting Talk pada 7 November 2018, dengan tema “Economic Outlook 2019” di AVT 503.

Hadir sebagai narasumber Dr. Ricky, S.E., M.R.E., Dekan Fakultas Bisnis dan Ekonomi UK Petra serta Prof. Lee Chew Ging, Dekan Faculty of Arts and Social Sciences dari University of Nottngham Malaysia.

Ricky dalam sesinya memberikan prakiraan ekonomi Indonesia di tahun 2019 dengan memaparkan beberapa hal yang akan terjadi yaitu pemilu, pengerjaan mega proyek infrastruktur di Indonesia, dan hari raya Idul Fitri. Dipaparkan pemilu tahun depan adalah pemilu yang unik karena kali pertama pemilihan legislatif dan eksekutif di Indonesia dilaksanakan secara langsung dan bersamaan. Pemilu 2019 juga berbeda dengan pemilu 2014, dimana di pemilu 2014 tidak ada inkumben yang mengikuti pemilihan. Menurut Ricky, menjelang  pemilu para investor akan lebih banyak bersikap wait and see. Pembangunan infrastruktur yang digiatkan pemerintah sejak tahun 2014 menyisakan beberapa proyek yang sangat besar untuk dikerjakan di tahun 2019. Industri pendukung pembangunan infrastruktur bisa dipastikan memiliki peluang yang sangat besar. Mengenai Idul Fitri, Ricky mengangkat analisa bahwa penyebab demand atas barang pokok pada Lebaran 2018 cenderung lebih sedikit, dikarenakan tahun ajaran baru sekolah berdekatan dengan hari Lebaran yang menyebabkan pola konsumsi masyarakat menjadi lebih terkontrol, hal yang sama bisa terjadi di tahun 2019.

Setelah memaparkan faktor besar yang akan terjadi pada 2019 di Indonesia, Ricky memaparkan kondisi global yang mempengaruhi dunia bisnis pada umumnya, yaitu  Industrial 4.0 dan disruptive innovation. Menurutnya, trend yang terjadi dalam atmosfer era disruptif ini adalah transformasi pola konsumsi dari produk yang rumit dan mahal, ke arah produk yang lebih sederhana dan murah. Hal ini dikombinasikan dengan berkembangnya kelas menengah Indonesia (rumah tangga dengan pengeluaran bulanan 2-3 juta per bulan), bisa disimpulkan pada lebih meratanya segmen konsumen Indonesia. Ricky kemudian menyimpulkan dengan paparan tentang apa yang perlu dilakukan di 2019. Menurutnya, yang terutama dalam kondisi ini adalah membangun brand dan membawa bisnis ke dunia maya. Ricky menyampaikan satu jargon, “Mayakan yang nyata, nyatakan yang maya. Disingkat MYNYM”.

Lee sebagai pembicara kedua menitikberatkan paparan pada situasi ekonomi makro ASEAN. Analisa dilakukan dengan komparasi indikator ekonomi Indonesia dengan negara-negara ASEAN. Lee melihat bahwa Indonesia beberapa tahun terakhir mendapatkan keuntungan lebih dari foreign direct investment (FDI/investasi asing langsung). Lebih lanjut, Lee membahas bahwa kekhasan perekonomian Indonesia yang cenderung tidak terlalu terpengaruh dengan sentimen ekonomi global dan lebih banyak dipengaruhi trend regional. Hal ini ditambah dengan semakin kuatnya perdagangan dalam lingkup Asia yang memberi optimis pada ketahanan ekonomi Indonesia menyongsong 2019. Di tahun 2019, faktor besar global yang terjadi adalah adanya perang dagang Amerika Serikat versus Republik Rakyat China (RRC). Dalam perang dagang ini, AS berusaha merebut kembali porsi pasar manufaktur yang direbut RRC. Lee menampilkan data yang memperlihatkan bahwa porsi AS dalam pasar barang manufaktur menurun dari 29% di tahun 1980 menjadi 18.1% di tahun 2016. RRC di sisi lain, sudah menyalip AS dengan porsi 26% sejak tahun 2014.

Bagi Indonesia, perang dagang ini perlu diantisipasi dengan pemahaman bahwa FDI dari RRC adalah cukup besar. Perang dagang perlu dipantau untuk mengantisipasi pengurangan investasi dari RRC. Lee kemudian memaparkan langkah yang bisa dilakukan di tahun 2019, yaitu menjadi penyuplai Amerika Serikat  dan RRC untuk barang yang terdampak oleh perang dagang dan membangun ekonomi yang lebih tangguh di Asia Timur yang tidak mudah dipengaruhi negara-negara dengan ekonomi raksasa. Lee mengatakan, perang dagang Amerika dan RRC berdampak minimal untuk Indonesia dikarenakan sebagian besar produk Indonesia berupa komoditas, Indonesia harus memastikan harga komoditasnya tetap stabil.  (noel/dit)

Facebook Comments