SHARE

Indonesia adalah bangsa yang diwarnai kebhinnekaan dan dalam kebhinekaan ini terjadi interaksi dari beragam latar belakang. Keberagaman ini adalah keunggulan karena keunikan masing-masing dapat saling melengkapi. Untuk saling mengisi dan melengkapi, diperlukan sikap mental yang positif dan terbuka tetapi seringkali sikap ini dihambat oleh stigma yang keliru. Upaya untuk memberikan edukasi agar kaum muda memiliki ketajaman dan pemikiran kritis menanggapi isu stigma dalam perbedaan serta supaya kaum muda memiliki semangat membangun hubungan dan berkolaborasi dalam kebhinnekaan, Departemen Mata kuliah Umum (DMU) Universitas Kristen Petra (UK Petra)  menyelenggarakan kuliah umum bertajuk “Perjumpaan yang Meruntuhkan Stigma” pada 24 November 2017 di AVT 502.

Kuliah umum yang dihadiri sekitar 150 orang mahasiswa dan undangan ini dimulai dengan pemutaran cuplikan film “The Imam and the Pastor” yang menceritakan kisah nyata perdamaian antara seorang imam dan seorang pendeta dari Nigeria. Dalam kisah tersebut, diungkapkan bahwa pendeta dan imam ini memiliki sejarah kepahitan yang berawal dari konflik antar agama yang terjadi di Nigeria pada dasawarsa 1990-an.

Setelah pemutaran film tersebut, Kepala DMU, Adi Wibowo, S.T., M.T., mengutarakan kondisi kebangsaan Indonesia saat ini. Adi mengucapkan, “Saat ini Indonesia sedang mengalami perang ideologi, dimana ada golongan yang hendak memaksakan satu ideologi secara universal, dan ada orang-orang yang ingin hidup damai”. Acara ini menghadirkan Ustad Sri Hardono, pemimpin Padepokan Gobloog yang juga sebagai Komandan Komando Pasukan Sapu Jagad dari Karanganyar, Surakarta dan Pendeta Paulus Hartono, M.Min., aktivis di Lembaga Perdamaian Lintas Agama dan Lintas Golongan. Ustad Sri Hardono sebagai pembicara pertama menanggapi sambutan di pembukaan sebagai suatu kebenaran, menurutnya Pancasila sebagai ideologi ideal untuk bangsa Indonesia. Hardono mengatakan bahwa kerukunan seperti di Surakarta saat ini, bukan karena agama, melainkan karena Pancasila. Dengan berpegang pada Pancasila, maka Indonesia yang sangat beragam ini memiliki satu kesatuan. Hardono kemudian memaparkan bahwa kunci untuk membuka penolakan-penolakan atau meluruskan stigma-stigma yang ada adalah dengan membuka saluran komunikasi. Diperlukan upaya untuk menjalin komunikasi dari semua latar belakang supaya timbul saling pengertian, yang pada akhirnya diharapkan mengikis prasangka dan stigma.

Pembicara kedua, Pendeta Paulus mengatakan apabila hendak memulai komunikasi, semua prasangka perlu dikesampingkan sehingga muncul pemahaman baru. Mengambil contoh prinsip silaturahmi yang dipegang saudara-saudara muslim dimana siapa pun yang hendak bersilaturahmi wajib diterima dengan baik oleh orang muslim, ketika memahami prinsip ini, maka berinteraksi dengan orang atau organisasi yang beragam menjadi lebih nyaman.

Diharapkan dengan acara ini timbul pemahaman dikalangan generasi muda untuk membangun jembatan komunikasi dan berkolaborasi membawa nilai-nilai perdamaian di tengah masyarakat. (noel/dit)

 

Facebook Comments