SHARE

Perkembangan model bisnis berbasis teknologi atau yang dikenal dengan “startup” di Indonesia, khususnya di Surabaya sangat pesat, termasuk di bidang kuliner yang menyajikan cita rasa baru dan unik. Program studi (prodi) Desain Komunikasi Visual (DKV) Universitas Kristen Petra (UK Petra) menyelenggarakan “Hungry Tummy Weekend Culinary Festival” di Pakuwon Trade Center Surabaya pada 24-26 November 2017. Hungry Tummy adalah sebuah festival makanan kreatif yang mendukung perkembangan usaha startup dan mempertemukan investor dengan pangsa pasar untuk memenuhi kebutuhan dan selera masyarakat.

Agenda di hari pertama adalah demo “Imooji”. Imooji adalah platform untuk membuat brosur secara daring. Platform tak berbayar di internet ini muncul sebagai sarana promosi baru yang ramah untuk investor startup dan menarik untuk generasi milennial. Demo ini dimaksudkan untuk memberikan ide metode alternatif mengkomunikasikan bisnis.

Pada hari pertama, 16 penyewa stand yang mengambil tempat di sekeliling acara Hungry Tummy mendapatkan pemaparan Instagram dari Surabaya Food blogger yang memiliki basis pengikut yang besar (23 ribu follower).

Hari kedua Hungry Tummy diadakan workshop “Art n Craft” DKV.  Tiga workshop kesenian dan kerajinan yang diselenggarakan adalah “Clay it Yourself” dimana peserta belajar membuat kerajinan dari bahan malam, “Animal Pom Pom Crafting” workshop membuat pom pom yaitu boneka kecil dari kain dan “Fun Fan”, membuat kipas unik dan menarik, selain itu diadakan “Samyang Challenge”, kompetisi adu cepat makan “samyang”, mie khas Korea Selatan.

Pada hari ketiga dan terakhir festival ini, diadakan acara “tupperware party”, lomba melukis anak-anak, bedah buku “Kearifan Lokal Kemasan Penganan Tradisional” sebagai acara pemuncak dan pertunjukan busana “Unity in Diversity” sebagai penutup acara.

Acara “Book Talk” menghadirkan dua pengarang buku dan penata letak (layouter) dari buku “Kearifan Lokal Kemasan Penganan Tradisional”. Buku ini adalah hasil penelitian Dr. Listia Natadjaja, S.T., M.T., M.Des., dan Elisabeth Christine Yuwono, S.Sn, M.Hum. Penelitian selama dua tahun ini berawal dari rasa keingintahuan Listia pada fenomena bertahannya kemasan tradisional jajanan tradisional di tengah perkembangan teknologi kemasan. Penulis melakukan penelitian dengan metode kualitatif dengan survei lapangan, wawancara mendalam dan observasi pada produsen penganan lokal yang masih memakai bahan dan metode tradisional pada kemasan jajanannya. Jajanan khas dari Gresik, pudak, dan jenang jubung saat ini kita dapati dalam kemasan yang terbuat dari ope (pelepah daun pinang). Pemakaian ope sebagai bungkus pudak sampai saat ini adalah karena daun ope memiliki pori-pori yang memungkinkan pudak tidak cepat basi.dan jenang jubung dibalut ope karena daun ope memberikan aroma khas yang tidak muncul apabila pembalut jubung digantikan dengan bahan lain.

Dari kedua penganan ini ditemukan kearifan lokal berupa daun ope yang mempertahankan keawetan jajanan dan memberikan aroma khas. Contoh kearifan lokal unik lain ditemukan pada bungkus wingko Babat dari kertas. Wingko yang berbahan dasar kelapa, ketan, dan gula adalah jajanan yang lengket, jika pembungkusnya menggunakan kertas, maka kertas tersebut  menjadi lengket pada wingko dan membuat konsumen sukar melepas bungkus tersebut. Proses melepas bungkus yang perlahan ini menurut Supriadi Gondokusumo, pemilik wingko merek “Loe Lan Ing”, adalah cerminan filosofi bisnis wingko yang berfilosofikan kesabaran dan keuletan.

Peneliti juga mengangkat kemasan minuman tradisional dari Tuban yang terbuat dari hasil sadapan tetesan bunga aren, legen, dan tuak.. Secara tradisional legen dan tuak diangkut dalam wadah bambu bernama “bethek”, untuk meminumnya memakai gelas dari bambu yang disebut “centhak”. Pedagang legen dan tuak membawa bethek dan centhak ini dengan memakai pikulan yang disebut “ongkek”. Pemakaian “bethek” yang terbuat dari bambu karena bambu dikenal kuat, dan mudah dipasang di dekat bunga aren yang disadap. Alasan lain pemakaian bethek adalah kemudahan memilih memproduksi tuak atau legen. Tuak dan legen terbuat dari air sadapan aren, apabila hendak membuat legen, “bethek” harus dicuci dengan air setelah dipakai menyadap aren, apabila setelah menyadap bethek tidak dicuci dengan air, maka legen berubah menjadi tuak.

Dengan memahami kearifan lokal yang ada dalam kemasan penganan tradisional, diharapkan timbul kesadaran dan penghargaan masyarakat terhadap penganan tradisional. Listia mengungkapkan harapannya, “Kami berharap penganan tradisional lebih dikenal dan dihargai masyarakat luas, diperdagangkan di tempat-tempat umum yang ramai seperti bandara, pusat pertokoan besar bahkan di maskapai milik Indonesia”. (noel/dit)

Facebook Comments