SHARE

Menjadi seorang gubernur, terlebih lagi gubernur sebuah ibukota negara merupakan sebuah posisi yang sangat penting dan istimewa.  Hendrick Hermanus Joel Ngantung atau yang lebih dikenal dengan nama Henk Ngantung merupakan seorang seniman yang pernah menjabat sebagai Gubernur Daerah Khusus Istimewa (DKI) Jakarta periode 1964-1965, tetapi karena adanya isu yang mengaitkan namanya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), nama Henk Ngantung mulai pudar dari ingatan publik. Jumat 16 Maret 2018, lembaga jurnal ilmiah “Discerning” Universitas Kristen (UK) Petra mengadakan bedah buku Henk Ngantung: “Saya Bukan Gubernurnya PKI”.

Buku Henk Ngantung: “Saya Bukan Gubernurnya PKI” merupakan sebuah biografi yang ditulis oleh Obed Bima Wicandra, seorang pengajar program studi (prodi) Desain Komunikasi Visual (DKV) UK Petra. Buku ini menceritakan tentang kisah Henk Ngantung, seorang seniman lukis yang dipilih oleh Presiden Soekarno pada masa awal kemerdekaan untuk memimpin kota DKI Jakarta. Dikatakan bahwa Henk Ngantung pada dasarnya dipilih atas kedekatannya dengan Presiden Soekarno. “memilih Henk sebagai wakil gubernur dan kemudian menjadi gubernur mungkin disebut sebagai tindak ceroboh Presiden Soekarno kala itu, karena dia hanyalah seorang seniman. Namun, catatan pers dalam bentuk berita kemudian memperlihatkan betapa mumpuninya seorang seniman bernama Henk dalam memimpin Jakarta kala itu,” kata Obed.

Selain itu, buku ini juga membahas tentang kontribusi-kontribusi Henk Ngantung untuk kota Jakarta dan peninggalan-peninggalannya yang belum banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia. Henk  Ngantung merupakan salah satu juri dalam proyek pembangunan Monumen Nasional (Monas). Selain itu Henk Ngantung juga tercatat sebagai salah satu perancang monumen Selamat Datang yang terletak di Bundaran Hotel Indonesia DKI Jakarta. Diluar kontribusinya kepada kota Jakarta, dikatakan bahwa hasil-hasil karya yang dilukis oleh Henk Ngantung dikoleksi oleh beberapa kolektor di Indonesia.

Pembuatan biografi ini bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan riset yang cukup mendalam dalam proses pembuatan buku ini. “Buku ini merupakan bagian dari proyek yang di danai oleh Yayasan Kebangsaan pada tahun 2011, dimana Henk Ngantung menjadi fokus utama saya,” ungkap Obed. Ia juga menceritakan bahwa proses riset Henk Ngantung ini memberi tantangan tersendiri karena sulitnya mencari sumber data yang memuat kisah Henk Ngantung. Buku tersebut juga sempat mengalami beberapa pergantian judul hingga akhirnya terciptalah buku Henk Ngantung: Saya Bukan Gubernurnya PKI.

Pada akhirnya, bedah buku bersama Obed Bima Wicandra menjawab pertanyaan besar yang terpampang pada judul buku tersebut, yakni: Apakah Henk Ngantung merupakan bagian dari PKI? Obed kemudian memaparkan, “Saya rasa tidak. Pemikirannya memang sosialis tapi bukan PKI walaupun beliau dari organisasi Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang pada saat itu diasosiasikan dengan PKI, akan tetapi saya berpendapat dia adalah seorang Soekarnois.”

Dari bedah buku ini, pada akhirnya terpapar sosok Henk Ngantung, seorang seniman yang mendapatkan kesempatan untuk memegang peran besar sebagai Gubernur DKI Jakarta. Obed mengatakan bahwa “sejarah tidak hanya terdiri dari hitam dan putih, kisah Henk Ngantung semestinya  dikenang oleh masyarakat dan untuk mengenangnya kita harus tahu siapakah sosok seorang Henk Ngantung.” (vka/dit)

Facebook Comments