SHARE

Tekanan seakan menjadi bagian dari masyarakat modern yang hidup dalam persaingan dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, pekerjaan, relasi sosial, bahkan rumah tangga. Hal ini menyebabkan pola kehidupan menjadi rentan terhadap stres. Dampak dari stres yang tidak terkelola adalah seseorang menjadi tidak terampil mengendalikan emosinya dimana salah satu perwujudannya adalah terjadinya tindak kekerasan terhadap anak dan remaja dari orang-orang dewasa di sekitarnya.

Sebagai bentuk kepedulian atas permasalahan ini, Pusat Konseling dan Pengembangan Pribadi (PKPP) Universitas Kristen (UK) Petra menyelenggarakan lokakarya Psychological First Aid (PFA) for Abused Teenager pada 13-14 Februari 2018 di gedung T yang diikuti 35 orang konselor dari sekolah dan gereja. Sebagai narasumber hadir Kuriake Kharismawan, seorang dosen pengajar dan kepala Center for Trauma Recovery Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata, serta konsultan psikososial deputi rehabilitasi rekonstruksi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Selama dua hari, Kuriake memaparkan materi yang memberikan empat manfaat utama untuk peserta yaitu (1) peserta memiliki pemahaman penyebab dan dampak dari perilaku kekerasan yang dialami seorang anak; (2) peserta memiliki kemampuan melakukan penilaian awal untuk memahami kondisi yang dialami korban kekerasan; (3) peserta mampu membuat rujukan pertolongan dengan psikoedukasi bagi keluarga korban kekerasan; (4) peserta memiliki keterampilan melakukan teknik stabilisasi seperti relaksasi, emotional freedom technique, dan  progressive muscle relaxation.

Di hari pertama, materi yang diberikan Kuriake berupa pengayaan wawasan terkait dengan anak dan remaja, stres, trauma beserta dampak-dampak dari stress dan trauma, dan prinsip-prinsip dasar PFA. Dengan pemahaman yang baik pada psikologi anak dan remaja maka peserta diharapkan mampu untuk berempati dan menolong mereka sebagai penyintas kekerasan. Stres dan trauma berkaitan erat dan pemahaman yang baik atas gejala dan dampaknya memungkinkan konselor untuk menentukan metode terbaik untuk membantu penyintas. Prinsip dasar PFA adalah memberikan pertolongan psikologis pertama pada penyintas untuk mencegah memburuknya kondisi psikologis. Secara garis besar, hari pertama lokakarya memenuhi dua tujuan pertama lokarya seperti disebut di atas.

Di hari kedua, para peserta mendapatkan paparan tentang tindakan yang sebaiknya diberikan sebagai PFA. Diawali dengan pemahaman atas pentingnya stabilisasi, yaitu upaya untuk memberikan kondisi pikiran yang kondusif dan nyaman bagi penyintas. Seorang yang mengalami trauma selain perlu diberikan pemenuhan rasa aman dan kebutuhan mendasar, juga perlu berada dalam kondisi yang stabil dan tenang. Tindakan lebih lanjut ketika kondisi penyintas tidak stabil justru memungkinkan timbulnya kecemasan baru. Seusai diberikan pemahaman mengenai stabilisasi, peserta mendapatkan pelatihan progressive muscle relaxation atau relaksasi otot. Manfaat dari teknik ini adalah untuk merelaksasi kondisi pikiran melalui olah otot. Penekanan utama pada relaksasi otot adalah menstimulasi otak untuk menyadari kemampuannya untuk memilih. Ketika penyintas sudah stabil dan relaks, teknik Emotional Freedom Technique (EFT) diaplikasikan untuk menumbuhkan resiliensi pada penyintas. Teknik ini adalah alat bantu psikoterapi yang dapat dilakukan oleh penyintas sendiri untuk merawat berbagai gangguan psikologis. EFT berdasarkan ilmu titik-titik energi tubuh (akupunktur) dan pemrograman neurolinguistik. Teknik ini dilakukan dengan mengajak penyintas merefleksi pikiran-pikiran negatif yang ada dan secara bersamaan mengetuk-ngetuk titik-titik energi yang berhubungan dengan emosi sedih, marah, cemas, panik, dan takut.

Dra. Lanny Herawati, Kepala PKPP menyampaikan harapannya kepada para peserta lokakarya ini, “bangun kepekaan pada tanda-tanda korban kekerasan atau perundungan, lakukanlah kepedulian dengan memberi kelegaan emosi dan terjadinya resiliensi”. (noel/dit)

Facebook Comments