SHARE

Seturut perkembangan zaman dan perkembangan teknologi yang semakin canggih, dunia kini memasuki era revolusi industri 4.0 yang menekankan pada hal-hal yang bersifat digital, robotik dan komputerisasi atau dikenal dengan fenomena disruptive innovation. Dunia pendidikan juga turut terdampak, kedepannya, mahasiswa akan menghadapi era revolusi industri generasi keempat yang memungkinkan pekerjaan-pekerjaan manusia digantikan dengan mesin dan robot. Melihat permasalahan tersebut, Fakultas Teknologi Industri (FTI) Universitas Kristen Petra (UK Petra) mengadakan teaching workshop bagi dosen-dosen FTI dan beberapa dosen dari fakultas lainnya. Kegiatan yang mengangkat topik “Bagaimana seharusnya pendidikan tinggi mempersiapkan siswa mereka dalam mengantisipasi revolusi industri 4.0?” ini diikuti oleh 40 orang dosen dan dilaksanakan pada 10 April 2018. “Kegiatan ini bertujuan sebagai refreshing training tentang pengajaran dalam menghadapi perubahan zaman, ditambah mahasiswa yang diajar adalah generasi milenial yang sangat berbeda dengan zaman dulu,” ungkap Dr. Juliana Anggono, S.T.,M.Sc. selaku Dekan Fakultas Teknologi Industri UK Petra.

Allan Schneitz, seorang pakar pendidikan dari Finlandia menjadi pembicara dalam workshop ini. Finlandia memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia yaitu dengan memfasilitasi siswa agar dapat menemukan bakat dan minatnya. Allan mengatakan bahwa pendidikan di negara-negara Asia sangat berbeda dengan Finlandia. Di Asia, pendidikan seseorang di pengaruhi oleh beberapa faktor seperti harapan orang tua, harapan negara, dan masalah kesejahteraan. Dalam kegiatan ini, Allan menyatakan bahwa dalam revolusi industri 4.0 ini akan ada sekelompok orang yang pekerjaannya bisa dengan mudah digantikan oleh mesin, tetapi ada juga sekelompok orang yang sudah punya level kompetensi serta skill yang bagus, maka tidak akan bisa dengan mudah digantikan oleh mesin. Oleh sebab itu pendidikan tinggi, terutama dosen harus mempersiapkan mahasiswa agar mampu menghadapi era tersebut dan memiliki skill yang mampu bersaing.

Menurut Allan, salah satu solusinya adalah pengajaran harus lebih kreatif karena metode kuliah pada umumnya tidak lagi efektif seperti dulu. Jika satu jam sama dengan 100%, 15 menit sama dengan 25%, efektifitas metode kuliah hanya sebesar 5%, membaca sebesar 10%, audio-visual sebesar 20%, demonstrasi sebesar 30%, diskusi kelompok sebesar 50%, praktik sebesar 75%, dan yang paling efektif adalah segera mengaplikasikan yang dipelajari atau bisa diwujudkan dengan mengajar kepada sesama yaitu sebesar 90%. Allan juga menambahkan bahwa generasi sekarang ini tidak bisa lepas dari gawai yang seringkali, tantangan seorang dosen adalah bagaimana justru menjadikan gawai itu sebagai bagian dari pembelajaran. Selain itu, networking (jaringan) juga dapat menjadi solusi. Dalam edukasi, unsur-unsur yang terlibat biasanya berpusat pada dosen, staff, materi, peratalan, dan lain-lain. Tetapi sebenarnya edukasi juga tidak bisa lepas dari komunitas, kearifan lokal, pemerintah yang mengatur regulasi, dan industri. “Jika kreativitas dan jaringan adalah solusinya, kemudian apa masalahnya? Bagaimana peran kunci baru universitas terhadap komunitas dan masyarakat, itulah yang harus diperhatikan,” terang Allan Schneitz.

Saat ini mulai marak online courses yang memungkinkan mahasiswa belajar melalui internet dan bisa memperoleh gelar. Timbul kekuatiran bahwa mungkinkah universitas akan tutup di masa depan? Tetapi melalui diskusi, ada fakta bahwa pendidikan tidak bisa didapat hanya dengan berbagi pengetahuan, melainkan juga ada sharing kehidupan yang bisa didapatkan dari seorang dosen. Jadi universitas dan dosen tidak akan dengan mudah tergantikan. (rut/padi)

Facebook Comments