SHARE

Dalam rangka Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 27 Juni 2018 serta Pemilihan Umum (Pemilu) pada 2019 mendatang, komunikasi politik dan personal branding menjadi sangat diperlukan. Mahasiswa sebagai salah satu insan komunikasi juga diharapkan dapat turut menciptakan atmosfer politik yang sehat dengan memiliki sikap kritis dan tanggung jawab. Bertepatan dengan perayaan ulang tahun ke-17, Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Petra (UK Petra) menyelenggarakan Talkshow and Proactive Class: Brace the Movement. Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 17 Mei 2018 di Auditorium UK Petra dan bertujuan untuk mengajak mahasiswa serta praktisi komunikasi untuk tidak bersikap apatis terhadap politik.

Hadir sebagai narasumber Fajar A. Isnugroho, komisioner Komite Penyiaran Indonesia (KPI) pusat periode 2013-2016, Silih A. Wasesa, S.Psi., M.Si., konsultan komunikasi, Johan Budi Sapto Pribowo, Juru Bicara Kepresidenan, Alfito Deannova Gintings, Direktur CNN Indonesia, Gatut Priyowidodo, M.Si., Ph.D., dosen Prodi Ilkom UK Petra serta moderator Fanny Lesmana, S.Sos., Med.Kom., selaku dosen Prodi Ilkom UK Petra. Rektor UK Petra, Prof. Dr. Ir. Djwantoro Hardjito, M.Eng. dalam sambutannya memberi penekanan pentingnya komunikasi sebagai alat, “Komunikasi punya peran yang luar biasa untuk membangun atau menghancurkan, semoga pembahasan yang didapatkan di hari ini bisa dipakai untuk membangun,” katanya.

Alfito membahas tentang peran pelaku komunikasi dalam kehidupan demokrasi. Alfito memaparkan sudut pandang media massa, dimana saat ini opini politik dibentuk melalui saluran-saluran komunikasi informal seperti media sosial (medsos). Media sosial adalah saluran informal favorit saat ini karena kemudahannya terkoneksi dan mengkoneksikan orang. Medsos perlu dipahami memiliki karakteristik partisan dan subyektif. Alfito juga memaparkan permasalahan yang dialami oleh insan pers, dimana jurnalis mengalami tekanan dalam bentuk preferensi pemberitaan oleh pemilik media, dan wartawan yang tidak obyektif dalam pemberitaan. Menurutnya kedua permasalahan ini membuat media massa kehilangan keunggulannya atas medsos, “Ketika media konvensional tidak lagi di jalannya, maka publik akan berlari ke medsos”.

Paparan Alfito ditanggapi Fajar dalam kacamata KPI sebagai badan pemantau kegiatan media konvensional. Fajar melihat tekanan yang sama yang dialami pers ketika menjaga kenetralan, contohnya saat Pemilu 2014, beberapa media televisi dimanfaatkan sebagai alat politik oleh pemiliknya. Gatut menyampaikan sudut pandang akademisi terkait hal ini, dimana media selalu memegang peranan penting dalam demokrasi karena media adalah pilar keempat demokrasi selain ketiga pilar yang lain: eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Johan Budi, yang sempat berkarir sebagai wartawan media konvensional, menyampaikan perubahan-perubahan yang terjadi cenderung mengarah ke keunggulan medsos. Ada kekhawatiran bahwa media konvensional justru mengambil sumber pemberitaan dari medsos, apabila demikian yang terjadi maka pencipta opini publik bukan lagi media konvensional. Menyambung yang dikemukakan Gatut sebelumnya mengenai media konvensional sebagai pilar keempat demokrasi, Johan mengatakan “Saat ini media sosial sudah menjadi pilar kelima demokrasi,” menekankan pentingnya peran media sosial.

Alfito berpendapat saat ini komunikasi memanfaatkan sentimen emosi cenderung mendapatkan respons dari penerimanya. Searah dengan pemikiran ini, Silih menambahkan pengalamannya sewaktu menjadi anggota tim kampanye Presiden Jokowi yang mampu mengkomunikasikan pesannya dengan baik tanpa membutuhkan biaya yang besar karena bisa memahami emosi publik. Menurut Silih, “Kalau emosi sudah didapatkan, maka tidak perlu terlalu banyak sumberdaya untuk berkomunikasi”.

Elizabeth Glory, ketua panitia acara menerangkan makna dari Brace the Movement.Tajuk ini mengajak mahasiswa untuk aktif membangun komunitas yang positif, bersikap proaktif dan kritis dalam menyikapi derasnya komunikasi,” katanya. (noel/dit)

Facebook Comments