SHARE

Pesatnya perkembangan ekonomi Tiongkok saat ini telah menjadikannya sebagai kekuatan ekonomi dunia. Sebagai dampaknya, bahasa Tionghoa menjadi bahasa yang semakin diminati untuk dipelajari oleh dunia luar Tiongkok, tidak terkecuali Indonesia. Pusat Studi Indonesia-Tionghoa Universitas Kristen Petra atau Center for Chinese-Indonesian Studies (CCIS) dan Program Studi Sastra Tionghoa Universitas Kristen Petra (UK Petra) menggelar seminar Internasional bertajuk “Belajar Bahasa Tionghoa: Siapa dan untuk Apa?”. Seminar Internasional yang dilaksanakan pada 29-30 November 2017 ini bertujuan menyediakan forum ilmiah berdiskusi berbagai realitas linguistik Bahasa Tionghoa, meninjau ulang cara orang mengajar dan belajar Bahasa Tionghoa, serta melihat kembali kajian tren dan praktek linguistik Bahasa Tionghoa dalam dunia global. Seminar Internasional di Ruang Konferensi 4, Gedung Radius Prawiro UK Petra ini juga menjadi wadah bagi peserta seminar untuk berdiskusi dan bertukar pendapat, memperoleh pengalaman berharga, serta menambah pengetahuan akademik dan memperluas jejaring. “Kami mengadakan seminar ini dengan mengangkat tema yang fokus kepada pembelajarnya yang memiliki latar belakang yang sangat bervariasi, sedangkan konsep dan cara pembelajarannya sama. Saya harap dengan adanya seminar ini semakin banyak orang yang mengangkat isu-isu serupa, kemudian dapat menentukan cara yang tepat untuk pembelajaran Bahasa Tionghoa,” ujar Budi Kurniawan, S.Kom., B.A., M.Hum. selaku Sekretaris Program Studi Sastra Tionghoa.

Seminar dibuka dengan penampilan mahasiswa Program Studi Sastra Tionghoa yang memainkan alat musik tradisional Tiongkok yaitu Guzheng dan Erhu. Kegiatan ini diikuti oleh sekitar 40 peserta dari berbagai latar belakang profesi yang berbeda-beda seperti dosen, guru, peneliti, dan wartawan. Sebelumnya, peserta diminta mengumpulkan abstrak dengan sub tema membuat makalah adalah Bahasa Tionghoa sebagai bahasa internasional, bahasa perekonomian, bahasa akademik, penanda identitas, bahasa warisan budaya, dan sebagai ketahanan nasional. Seminar ini menghadirkan enam orang pembicara utama yaitu Prof. Pan Wenguo dari East China Normal University, Prof. Liao Enxi dari Guangxi Normal University, China, Prof. Han Ming dari Guangxi Normal University, Prof. Liu Hui dari Guangxi Normal University, Prof. Chang Yau Hoon dari University of Brunei Darussalam, dan Prof. Esther Kuntjara dari Universitas Kristen Petra.

Selain mendengarkan materi, peserta juga mempresentasikan dan berdiskusi mengenai hasil makalahnya dalam kelompok-kelompok kecil. Juliana Wang, salah satu peserta yang berasal dari Jakarta membuat makalah yang berjudul “Analisis Baju Formal Betawi yang Mempunyai Budaya Tiongkok”. Dari riset yang telah dilakukan selama enam bulan, Juliana menemukan fakta bahwa baju betawi mengandung unsur budaya Tiongkok. Seperti baju koko, koko dalam bahasa Tionghoa berarti abang, dari bentuk kerahnya ternyata ada 23 suku di Tiongkok yang memiliki bentuk kerah yang sama. “Melalui kegiatan ini saya mendapatkan pengalaman baru, banyak teman baru dan saya juga banyak belajar dari teman-teman yang lebih senior daripada saya,” ungkap wanita yang berprofesi sebagai dosen ini.

Menutup rangkaian kegiatan seminar ini, pada hari kedua diadakan demo kaligrafi. Wu Ji Ru, seorang kaligrafer profesional yang berasal dari Taiwan dihadirkan untuk memberikan penjelasan singkat mengenai seni kaligrafi kemudian mendemokan kaligrafi bagi masing-masing peserta. Peserta berkemsempatan menuliskan nama dan pepatah untuk dituliskan dalam selembar kertas. (rut/aj)

Facebook Comments